Setelah pekan lalau Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) mengharamkan merokok dan golput, kini MUI mengharamkan mengemis. Pengemis memang menjadi masalah yang sulit diberantas oleh Negara Indonesia. Atau mungkih ada motif dibalik pengharamannya mengemis, yaitu kerja sama antar pemerintah dengan MUI untuk mengharamkan pekerjaan mengemis
Selama ini berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk (sedikitnya) meminimalisir pengemis. Tapi malah sebaliknya, setiap tahun pengemis selalu bertambah dengan pesat. Bahkan, jumlah pengemis bertambah drastis pasca masuknya bulan Ramadhan ini. Terutama di kota-kota besar. Bahkan, para pengemis dikordinir oleh pihak yang tak bertanggung jawab, sehingga kecendrungan mengemis dalam masyarakat kita lebih besar. Para kordinator pengemis ini memberi harapan besar bagi calon pengemis untuk memutuskan jadi pengemis, meski sebelumnya tidak mempunyai keinginan untuk mengemis.
Teknik para pengemis pun untuk mengelabuhi para calon pemberinya cukup berfareasi, pengemis-pengemis mulai pintar memanfaatkan situasi. Teknik pengemis tidak hanya duduk dipinggir jalan dengan memasang wajah melas agar orang-orang yang lewat didepannya mengasihi dan sudi memberi sedikit uang untuk dirinya. Teknik ini semakin marak dikalangan pengemis, dengan cara datang ke permukiman warga dengan membawa proposal sumbangan untuk anak yatim piatu, ada juga yang membawa proposal sumbangan untuk pembangunan masjid.
Hal ini cukup ampuh mengelabuhi calon pemberi. Karena dengan menggunakan proposal, pemberi sedekah minimal memberi uang seribu rupiah. Cukup menguntungkan bagi pengemis jika dibandingkan dengan yang hanya membawa kaleng dipinggir jalan, karena pemberi hanya memberikan uang logam pecahan Rp. 100,- hingga Rp. 500,-
Pengemis sekarang pun bergeraknya tidak secara individu, melainkan lebih meluas dan menjuru kebidang oraganisasi, ada anak buah dan ada bos yang mengkordinir semua anak buahnya dalam mengemis. Sehingga bagi sebagian masyarakat kita pekerjaan mengemis dijadikan sebagai profesi, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menafkahi kelaurga. Meski dirinya mampu mengerjakan pekerjaan yang layak dan lebih terhormat, tapi mereka lebih memilih untuk tetap jadi pengemis. Karena mental mereka sudah mental pengemis.
Mental pengemis sudah kadung tertanam sejak lama. Meski jelas-jelas sudah tahu itu adalah pekerjaan yang tidak pantas mereka tetap menjalaninya. Mental pengemis yang tumbuh dari diri masyarakat kita yang disebabkan oleh keluarga, karena semua keluarga berprofesi sebagai pengemis, maupun mental pengemis yang diciptakan lingkungan karena sudah tergabung dalam kumpulan pengemis yang terorganisir. Itu semua adalah masalah kita bersama, lebih-lebih masalah Negara yang harus betul-betul ditangani dengan tepat dan cerdas
Fatwa haram yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama’ Indonesia Sumenep Madura pada tanggal 12 Agustus 2009, mendapat sambutan hangat dari MUI pusat. Begitu juga dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie yang mendukung fatwa haram itu untuk membawa kebaikan, meski dari sebagian kalangan ada yang tidak setuju dengan fatwa MUI tersebut.
Fatwa haram ini diharapkan (setidaknya) bisa meminimalisir penambahan-penambahan pengemis di berbagai kota di Indonesia. Dan bisa merubah mental pengemis masyarakat kita. Meski sebenarnya butuh kesadaran secara individu. Fatwa haram ini seharusnya dibarengi dengan upaya-upaya pemerintah dalam mengentaskan pengemis.
Langkah Pemerintah Pasca Fatwa Haram MUI
Pengemis yang menjamur di Negara ini memang butuh kerjasama yang kuat untuk memberantasnya, minimal meminimalisir penambahan pengemis. Setalah MUI Sumenep mengeluarkan fatwa haram dan diperluas oleh MUI pusat tentu masyarakat dalam hal ini pengemis akan lebih hati-hati. Nah… disini peran pemerintah pusat maupun daerah begitu penting dalam mempengaruhi pemberantasan dan penambahan pengemis
Meski MUI tidak bisa memberi lapangan kerja terhadap para pengemis, tapi MUI telah berusaha dan mengajak masyarakat, lebih-pebih pemerintah dalam menangani pengemis. Tidak bisa dinafikan kalau MUI hanya bisa berfatwa tanpa ada tidankan dan terkadang tidak ada solusi terhadap apa yang di-fatwa-haram-kan.
Dalam menangani pengemis, pemerintah tidak cukup merazia pengemis dan setelah itu dibiarkan lagi begitu saja tanpa ada solusi untuk bisa memberhentikan pengemis dari pekerjaan biasanya. Meskipun ada denda dan terkadang dijebloskan ke penjara tidak akan menyurutkan mereka untuk kembali ke habitat asalnya. Setelah mereka keluar dari penjara pun akan mengulanginya lagi.
Seharusnya pemerintah melalui Departemen Sosial bisa memberi stimulus dalam kehidupan mereka kedepan, membuat mereka memandang masa depan yang lebih baik dari pada mengemis. Member pendidikan yang layak, terutama pendidikan keterampilan dan mengajari mereka cara merintis usaha. Agar mereka tidak mengemis lagi.
Memulangkan mereka ke daerah asalnya adalah cara terbaik dalam penanganan pengemis dan membuatkan mereka semacam usaha kecil-kecilan. Pemeritah harusnya lebih menggalakkan lagi program PNPM yang khusus dalam pengembangan usaha kecil-kecilan. PNMP bisa menyerap lapangan pekerjaan hingga 14 juta. Jadi, PNPM sudah bisa dikatakan lebih dari cukup untuk menangani pengemis-pengemis di Indonesia, karena jumlah pengemis yang terhitung sampai saat ini diseluruh Indonesia tidak mencapai angka 14 juta.
Bukan hanya itu, pendidikan spiritual dan kesadaran spiritual dalam jiwa mereka juga perlu betul-betul dibina supaya mental pengemisnya tidak kambuh lagi dan mengemis lagi, kalau-kalau mereka gagal dalam menjalani usahanya.
Selama ini berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk (sedikitnya) meminimalisir pengemis. Tapi malah sebaliknya, setiap tahun pengemis selalu bertambah dengan pesat. Bahkan, jumlah pengemis bertambah drastis pasca masuknya bulan Ramadhan ini. Terutama di kota-kota besar. Bahkan, para pengemis dikordinir oleh pihak yang tak bertanggung jawab, sehingga kecendrungan mengemis dalam masyarakat kita lebih besar. Para kordinator pengemis ini memberi harapan besar bagi calon pengemis untuk memutuskan jadi pengemis, meski sebelumnya tidak mempunyai keinginan untuk mengemis.
Teknik para pengemis pun untuk mengelabuhi para calon pemberinya cukup berfareasi, pengemis-pengemis mulai pintar memanfaatkan situasi. Teknik pengemis tidak hanya duduk dipinggir jalan dengan memasang wajah melas agar orang-orang yang lewat didepannya mengasihi dan sudi memberi sedikit uang untuk dirinya. Teknik ini semakin marak dikalangan pengemis, dengan cara datang ke permukiman warga dengan membawa proposal sumbangan untuk anak yatim piatu, ada juga yang membawa proposal sumbangan untuk pembangunan masjid.
Hal ini cukup ampuh mengelabuhi calon pemberi. Karena dengan menggunakan proposal, pemberi sedekah minimal memberi uang seribu rupiah. Cukup menguntungkan bagi pengemis jika dibandingkan dengan yang hanya membawa kaleng dipinggir jalan, karena pemberi hanya memberikan uang logam pecahan Rp. 100,- hingga Rp. 500,-
Pengemis sekarang pun bergeraknya tidak secara individu, melainkan lebih meluas dan menjuru kebidang oraganisasi, ada anak buah dan ada bos yang mengkordinir semua anak buahnya dalam mengemis. Sehingga bagi sebagian masyarakat kita pekerjaan mengemis dijadikan sebagai profesi, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menafkahi kelaurga. Meski dirinya mampu mengerjakan pekerjaan yang layak dan lebih terhormat, tapi mereka lebih memilih untuk tetap jadi pengemis. Karena mental mereka sudah mental pengemis.
Mental pengemis sudah kadung tertanam sejak lama. Meski jelas-jelas sudah tahu itu adalah pekerjaan yang tidak pantas mereka tetap menjalaninya. Mental pengemis yang tumbuh dari diri masyarakat kita yang disebabkan oleh keluarga, karena semua keluarga berprofesi sebagai pengemis, maupun mental pengemis yang diciptakan lingkungan karena sudah tergabung dalam kumpulan pengemis yang terorganisir. Itu semua adalah masalah kita bersama, lebih-lebih masalah Negara yang harus betul-betul ditangani dengan tepat dan cerdas
Fatwa haram yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama’ Indonesia Sumenep Madura pada tanggal 12 Agustus 2009, mendapat sambutan hangat dari MUI pusat. Begitu juga dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie yang mendukung fatwa haram itu untuk membawa kebaikan, meski dari sebagian kalangan ada yang tidak setuju dengan fatwa MUI tersebut.
Fatwa haram ini diharapkan (setidaknya) bisa meminimalisir penambahan-penambahan pengemis di berbagai kota di Indonesia. Dan bisa merubah mental pengemis masyarakat kita. Meski sebenarnya butuh kesadaran secara individu. Fatwa haram ini seharusnya dibarengi dengan upaya-upaya pemerintah dalam mengentaskan pengemis.
Langkah Pemerintah Pasca Fatwa Haram MUI
Pengemis yang menjamur di Negara ini memang butuh kerjasama yang kuat untuk memberantasnya, minimal meminimalisir penambahan pengemis. Setalah MUI Sumenep mengeluarkan fatwa haram dan diperluas oleh MUI pusat tentu masyarakat dalam hal ini pengemis akan lebih hati-hati. Nah… disini peran pemerintah pusat maupun daerah begitu penting dalam mempengaruhi pemberantasan dan penambahan pengemis
Meski MUI tidak bisa memberi lapangan kerja terhadap para pengemis, tapi MUI telah berusaha dan mengajak masyarakat, lebih-pebih pemerintah dalam menangani pengemis. Tidak bisa dinafikan kalau MUI hanya bisa berfatwa tanpa ada tidankan dan terkadang tidak ada solusi terhadap apa yang di-fatwa-haram-kan.
Dalam menangani pengemis, pemerintah tidak cukup merazia pengemis dan setelah itu dibiarkan lagi begitu saja tanpa ada solusi untuk bisa memberhentikan pengemis dari pekerjaan biasanya. Meskipun ada denda dan terkadang dijebloskan ke penjara tidak akan menyurutkan mereka untuk kembali ke habitat asalnya. Setelah mereka keluar dari penjara pun akan mengulanginya lagi.
Seharusnya pemerintah melalui Departemen Sosial bisa memberi stimulus dalam kehidupan mereka kedepan, membuat mereka memandang masa depan yang lebih baik dari pada mengemis. Member pendidikan yang layak, terutama pendidikan keterampilan dan mengajari mereka cara merintis usaha. Agar mereka tidak mengemis lagi.
Memulangkan mereka ke daerah asalnya adalah cara terbaik dalam penanganan pengemis dan membuatkan mereka semacam usaha kecil-kecilan. Pemeritah harusnya lebih menggalakkan lagi program PNPM yang khusus dalam pengembangan usaha kecil-kecilan. PNMP bisa menyerap lapangan pekerjaan hingga 14 juta. Jadi, PNPM sudah bisa dikatakan lebih dari cukup untuk menangani pengemis-pengemis di Indonesia, karena jumlah pengemis yang terhitung sampai saat ini diseluruh Indonesia tidak mencapai angka 14 juta.
Bukan hanya itu, pendidikan spiritual dan kesadaran spiritual dalam jiwa mereka juga perlu betul-betul dibina supaya mental pengemisnya tidak kambuh lagi dan mengemis lagi, kalau-kalau mereka gagal dalam menjalani usahanya.
Oleh; Ajiez Mulya
0 komentar:
Posting Komentar