Jumat, 27 November 2009

Santri dan Budaya Baca-Tulis

0 komentar
Alkisah, ada seorang mahasiswa India asal Indonesia yang sedang mengurusi perpanjangan idzin tinggal di kantor imigrasi. Dia kebetulam duduk bersebelahan dengan seorang bule yang datang bersama keluarganya. Ketika penduduk luar India lain tampak ribut dan berbicara sendiri-sendiri, seluruh anggota keluarga ini tampak asyik membaca buku. Sang suami membaca My Life-nya Bill Clinton, istrinya membaca novel seorang ahli hukum, John Grisham, sementara kedua anaknya membaca komik Archie.

Fenomena bule di atas merupakan realitas umum yang tidak hanya terjadi di tempat imigrasi itu saja. Pendeknya, masyarakat Barat telah terbiasa menghabiskan waktunya—lebih-lebih yang terpelajar—dengan membaca, yang mana hal itu merupakan salah satu ciri masyarakat yang berbudaya.

Melihatnya, bagaimana dengan Indonesia? Kebiasaan membaca di Indonesia belum menjadi budaya. Mungkin cuma sebagian kecil saja yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Dalam hal ini dan sampai saat ini Indonesia masih jauh dari apa yang namanya budaya baca. Indonesia masih kalah jauh ketimbang negara tetangga. Belum lagi ketimbang negara Barat yang jauh lebih maju.

Menurut Hasil riset World Bank dan International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa peringkat kebiasaan membaca anak-anak Indonesia paling lemah jika dibandingkan dengan negara Asia yang lain. Indonesia hanya mendapatkan skor 51,7. Angka itu masih kalah jauh dari Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (75,0), dan Tiongkok (75,5). Selain itu, kemampuan membaca rata-rata para siswa SD dan SMP di Indonesia menduduki urutan ke-38 dan ke-34 dari 39 negara.

Membincangkan masalah ini kayaknya memang menarik, mengingat masyakrakat kita mayoritas muslim, sedangkan wahyu yang diturunkan pertamakali kepada nabi Muhammad saw. adalah iqra’ (memabca). Dalam riwayat pewahyuan, surat ini dikisahkan bahwa nabi Muhammad saw. “dipaksa” oleh malaikat Jibril untuk membaca (iqra’), tapi saat itu nabi Muhammad saw. menjawab “ma ana bi qari’” (saya tidak bisa membaca).

Dengan dipilihnya nabi Muhammad saw., yang ummi (tidak bisa membaca), untuk membaca mengindikasikan bahwa berapa Islam sangat menekankan akan pentingnya membaca hingga dipilih seorang ummi yang dipaksa untuk membaca dan menyampaikan pesan-pesannya.

Perintah membaca pada ayat pertama surat al-‘Alaq dilanjutkan dengan isyarat terhadap pentingnya tulisan pada ayat keempat dan kelima. Tentag kaitannya antara ayat 3-4 dan ayat sebelumnya, al-Biqa’i menyatakan bahwa Allah swt. mengajarkan nabi Muhammad saw., sekalipun saat itu beliau seorang yang ummi sebagaimana Allah swt. mengajarkan ilmu pada orang bodoh dengan pena. Di sini terdapat pentingnya penulisan sebagai sarana transmisi ilmu yang dalam Islam mendapat tempat yang tinggi.

Siapa yang bertaggung jawab dan siapa yang harus memperjuangkan agar budaya baca-tulis melekat pada kita? Dalam hal ini kita tidak usah menuding siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang harus berjuang. Namun, bagaimana seharusnya budaya baac-tulis bisa kita miliki dan tidak lagi menjadi hal tabu. Kita sebagai seorang pemuda (baca: santri) setidaknya bisa mengambil dan mengamalkan isi dari pesan surat al-Alaq yang merupakan wahyu pertama yang diterima nabi kita, Muhammad saw., seperti yang sempat disinggung di atas. Apalagi, seperti yang telah jamak kita ketahui bahwa kemajuan dan kehidupan negara ada di “tangan” dan “kaki” pemuda (santri); (inna fi yadis syubbab amral ummahat wa fi akdamiha hayataha).
***

Membaca dan menulis merupakan dua komponen dalam kehidupan yang tidak dapat dipisahkan untuk menopang fungsi akal, dan keduanya merupakan anjuran agama. Akal kita jika tidak ditopang dengan membaca-tulis, maka akan berkembag dan “mandul”.

Untuk menumbuhkan semangat dan membudayakan baca-tulis, kiranya—selain setelah merenungi pesan dari surat al-‘Alaq di atas—kita bisa mengaca pada tokoh-tokoh besar terdahulu yang memiliki kemampuan membaca dan menulis yang tinggi.

Sebut saja diantaranya seperti Imam Ghazali, pengarang kitab Ihya’ Ulumuddin, dengan tradisi bacanya yang kuat dan tulisan-tulisannya sampai saat ini banyak mengisi dan mewarnai rak-rak perpustakaan dunia. Kalau di Indonesia, sebut saja, seperti Imam Nawawi al-Banteni, dengan bacaanya yang kuat dan tulisannya telah membingkai karya-karyanya, hingga saat ini karya-karya itu masih menjadi konsumsi bacaan resmi di pesantren-pesantren Indonesia. Seperti kitab Safinatun Naja. Santri mana yang tidak kenal dan tahu kitab tersebut? Santri baru pun akan langsung tahu dan mengenalnya.

Di kalangan santri, mungkin cuma berapa orang saja—kalau tidak mau dikatakan tidak ada—yang sadar akan pentingnya meulis. Bagi mereka (mungkin) menulis bisa menyita banyak waktu. Selain harus menggerakkan otak juga harus menggerakan tangan untuk mencoretkan pena pada kertas, atau menggerakkan jari-jari pada keyboard. Hal Ini memang benar jika kita berpikir hanya pada saat itu saja. Tapi, hal itu akan salah jika kita berpikir ke depan bahwa tulisan yang kita torehkan nantinya akan dibaca dan bermanfaat bagi orang lain. Dalam pepatah latin disebutkan; “Verba Valent, Scripta Manent” (ucapan itu bisa hilang atau terlupakan, akan tetapi tulisan akan tetap abadi).

Untuk itu, dengan merujuk pada al-Qur’an, adalah shahih untuk mengatakan bahwa menjadi seorang (baca: santri) yang baik adalah menjadi pembaca yang baik (baca: rajin dan sejenisnya). Meskipun penulis di sini kurang kredibel untuk “mendakwakan” hal ini, namun fenomena keironian yang menimpa kita rasanya perlu untuk direfleksilan untuk membangun budaya baca-tulis khusunya di kalangan pesantren (santri) dan negara tercinta kita, Indonesia, pada umumnya.


[oleh: Abd. Basid,
pencinta pena; mantan Kepala Daerah (KapDar) A
dan punggawa LPBA PP. Mambaul Ulum Bata-Bata]

0 komentar:

Posting Komentar