Sabtu, 24 Oktober 2009

Hukum dan Problematika Syari’ah Islam

0 komentar
Perdebatan mengenai piagam Jakarta sebagi sebuah kajian konstitusi masih belum selesai. Kita tidak usah menengok pada masa pasca orde baru, kemaren (06-06-2009) ada sebuah debat mengenai hal ini,di sebuah stasiun TV swasta. Tulisan ini tidak akan menghakimi mana yang benar dan mana yang salah. Tulisan ini hanya mencoba untuk membahas bagai mana sikap kita sebagai intelektual muslim Madura yang hidup pada era “ketidak pastian” dan “keserba mungkinan” ini (pasca suramadu pada khususnya).

Pada pembukaan UUD 1945 terdapat kalimat: “….berdasarkan ketuhanan yang maha Esa”. Rumusan ini berasal dari rumusan yang berbunyi: “Repukblik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa dangan kewajiban menjatuhkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tambahan “tujuh kata” tersebut terdapat pada piagam Jakarta.

Sebuah Misteri Sejarah

Perubahan dari rumusan piagam Jakarta menjadi UUD 45 dengan mencoret tujuh kata tersebut sampai sekarang masih mengundang perselisihan dan kesalah pahaman.
Bung Hatta sebagai salah satu anggota BPUPKI dan PPKI menyebutkan bahwa ada “Orang timur” yang menghalang-halangi tujuh kata tersebut untuk masuk kedalam konstitusi. Di kalangan tokoh-tokoh islam, juga ada yang bertanya siapa gerangan yang dimaksud bung Hatta sebagai “Orang dari timur” tersebut?. Dan apa dasar mereka mengubah teks konstitusi sebagai norma hokum tertinggi (Gerund Gesetzs) dalam sebuah Negara yang telah mendapat persetujuan bersama?. Bagaimana perubahan itu bisa terjadi, sedangkan idealnya , konstitusi yang dibuat secara procedural dan dengan tranparansi penuh?. Menurut Prof. Jimly As-siddiqi (mantan ketua Mahkamah Konstitusi), memang tidak jelas benar siapa yang di maksud oleh Bung Hatta sebagai “Orang dari timur” tersebut. Besar kemungkinan penolakan dari pihak non Islam yang sebgian besar berada di bagian wilayah timur Indonesia memang seharusnya dilakukan dengan tidak terbuka dan kurang transparan.

Sikap Kita

Judul ini bukanlah harga mati. Yang di maksud dengan “sikap kita” adalah sikap saya dan anda yang setuju dengan pendapat saya yang akan di uraikan di bawah ini:

Harus di akui, sudah selayaknya seorang muslim harus berpegang teguh pada Al-quran. Dalam kaitannya dengan hukum, Al-quran menyebutkan tiga gelar terhadap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Tiga gelar tersebut adalah kafir, fasik dan dholim. Sungguh sebuah ironi jika sebagian ummat Islam ada yang tidak berhukum dengan Allah dengan dalil pemisahan agama dan Negara sebagai pemegang otoritas hokum. Padahal, faktanya di Amerika serikat, Perancis,, Belanda dan Jerman yang di elu-elukan bagi Negara sekuler, dalam banyak kasus terdapat “Intervensi” Negara terhadap agama. Bahkan, seorang sarjana hokum Perancis kenamaan, Alexis de tocqueville pernah berkata:

“ Relejion lonsideret as a political institution wich powerfully contributes to the maintenance of a democratic republic among the Americans”.

Kesaksian tersebut menggambarkan pengaruh agama (Keristen dan Yahudi) pada setiap kebijakan Negara. Bahkan di Amerika menurutnya, “Intervensi” agama terhadap Negara jauh lebih substantive dibandingkan yang terjadi di Eropa.

Ketika kita berbicara syari’at Islam dan Indonesia pada konteksnya yang sekarang, lebih-lebih setelah pemilu legislative 2009, kita harus lebih berpandangan realis. Pasalnya, amandemen lanjutan terhadap UUD 1945 telah lama di wacanakan dan kemungkinan besar terjadi setelah pelantikan anggota MPR, DPR,DPD yang baru, (yang mana, MPR lah yang berhak melakukan amandemen terhadap konstitusi). Sedangkan kalau kita ukur kekuatan politik Islam, hanya terwakili oleh empat partai, (itupun belum setuju semua dengan penerapan syari’ah). Selain empat partai tersebut, terdapat lima partai yang berlawanan rasionalis. Bisakah?, tentu tidak.

Setelah kita kubur dalam-dalam mimpi kita untuk memasukkan syari’at Islam kedalam konstitusi , kiranya(dan memang seharusnya), syari’at Islam harus di pahami dan berlaku sebagai konstitusi ummat Islam sendiri. Syari’at Islam tidak perlu lagi direduksi maknanya hany sekedar menjadi persoalan institusi Negara. Sudah sepantasnya syari’at menjadi living law di masyarakat. Sumber norma yang mencerminkan keadilan bisa datang dari mana saja, termasuk syri’at Islam. Tetapi jika sumber dari sebuah hukum positif tersebut adalah syari’at, maka embel-embel kata Islam dan kata syri’at tidak perlu di sebut lagi. Melainkan namanya cukup menggunakan nama hukum nasional Indonesia, meskipun esensinya lebih berdasar pada syari’at Islam. Dalam hal ini, kita harus lebih mengedepankan isi(Essence) dari pada bungkusnya(Appearance).

Hati dari pembicaraan kita mulai dari depan adalah: dengan kekuatan politik yang tidak seberapa, kita seharusnya lebih realistis dalam membaca hubungan antara Islam dengan Negara, khususnya di Indonesia. Sudah sepatutnya perjuangan syari’at Islam harus di hentikan sejenak, dan di gantikan dengan perjuangan menegakkan hukum nasional yang islami.
Islam memang bukan pada lebel tapi pada substansinya. Secara Normative, dalam dinamika hukum nasional, hal ini setidaknya telah tercapai dalam beberapa persoalan, UU pornogrfi setidaknya memberikan corak islami pada hukum positif(Ius Constitutum).
Bisakah perjuangan ini berlanjut?, terserah anda.


By; Oleh: Mudassir
Mantan Punggawa M2KD
IMABA Jogjakarta
Mahasiswa UII Jurusan Hukum

0 komentar:

Posting Komentar